Sebelum mendapat nama panggil Pantat (punggung) di penjara, preman kampung ini mendapat julukan keren di kawasan stasiun biasa ia nongkrong: Ferdi. Tak seorang pun membantah bahwa tampang anak tukang becak bernama asli Sardi itu mirip Ferdi Hasan, presenter terkenal stasiun tv nasional.
Ia beroleh nama Pantat sejak hari pertama masuk penjara. Para napi sudah menunggu kehadirannya di penjara dan menyiapkan nama Pantat baginya. Headline koran lokal berjudul “Segera Dibui, Penepuk Pantat” membuatnya terkenal.
Nama Pantat sudah sangat sesuai untuknya. Ia menerima nama panggil itu dengan sukacita. Menurutnya nama Pantat jauh lebih manusiawi ketimbang nama panggil sesama napi yang ia kenal: Bajul, Celeng, Bajing, Jangkrik, Kodok Abang, Kirik, dan nama-nama lain sejenisnya.
Ia dipenjara gara-gara iseng menepuk pantat kambing Pak Haji Wadas, tetangganya sendiri. Bah! Menepuk pantat kambing bisa masuk penjara? Bisa. Begini cerita lengkapnya:
Di suatu petang yang belum remang, menjelang hari raya korban, Sardi berjalan menyusuri gang demi gang kampungnya. Acara jalan-jalan biasa dilakukannya sekedar untuk mengingatkan warga kampung bahwa mereka masih memiliki seorang preman. Kadangkala acara jalan-jalan itu bertujuan demi menunjukkan bahwa wajahnya masih mirip Ferdi Hasan. Ia berharap, warga kampung yang selama ini tidak mau memanggilnya Ferdi jadi mau memanggilnya Ferdi, seperti kawan-kawan di stasiun memanggilnya.
Nah, ketika langkahnya sampai di depan pagar Pak Haji Wadas, keisengannya timbul. Ia menghadapi seekor kambing betina besar. Kambing sedang dipancang di pinggiran gang berumput dengan tulisan tertempel di pagar: Dijual Kambing Korban
Ia berpikir sebentar. Ia ingat siapa Pak Wadas yang kini telah jadi haji itu. Pak Haji Wadas warga baru di kampungnya. Dia pindahan dari kampung sebelah.
Seminggu sebelumnya, Sardi bercakap dengan seorang kawan di stasiun.
“Kau tahu Haji Wadas?”
“Kenapa dia?”
“Dia membeli rumah Pak Tjokro dengan harga sangat murah.”
Pak Tjokro adalah tetangga Sardi yang kalah berjudi di ibukota.
“Jadi, aku sekampung dengan orang yang pernah mengusili ibuku sewaktu muda?”
“Maksudmu?”
“Waktu itu umurku sepuluh tahun. Aku digandeng ibu berjalan ke pasar. Pagi-pagi sekali, jalanan masih sepi. Kami berpapasan dengan si Wadas. Ia lari pagi. Tiba-tiba ia menghampiri kami, dan menepuk pantat ibu.”
“Sinting!”
“Ibu kaget dan berteriak. Tapi teriakan ibu seperti tertahan di tenggorokan. Setelah puas mengusili ibu, ia lantas melanjutkan lari paginya sambil cengengesan.”
“Bangsat!”
“Aku melirik ibu. Ia menangis. Sepulang dari belanja tak jauh dari pasar, saat menyeberang jalan, sebuah truk menabrak kami. Aku selamat, ibu tidak.”
“Ayahmu tahu soal si Wadas itu?”
“Tidak. Peristiwa itu kusimpan dalam hati. Di depan mayat ibu aku berjanji akan terus berdoa minta pada Allah agar secepatnya si Wadas mati. Tentu, dengan cara mengenaskan. Tapi Allah tak mendengar doaku.”
“Bagaimana kau tahu Allah tak dengar doamu?”
“Buktinya ia tak mati-mati juga. Malahan ia tambah kaya, kawin lagi, naik haji, dihormati orang.”
“Kapan terakhir kau berdoa?”
“Sepuluh tahun lalu. Sejak aku jadi preman kampung.”
“Ada baiknya kau berdoa lagi. Sekarang, kau kan preman kampung.”
“Memang kenapa?”
“Siapa tahu, kini Allah lebih perhatian padamu.”
“Begitu, ya? Baiklah. Aku akan minta pada Allah agar si Wadas mati dengan cara mengenaskan. Kalau Allah mengabulkan dalam waktu dekat ini, aku akan kembali sholat dan mengaji.”
“Aku saksi atas janjimu.”
Si preman kampung masih berdiri di depan kambing. Ia baru menyudahi lamunannya saat Pak Haji Wadas dari teras rumah berteriak:
“Hai! Apa yang kaulakukan pada kambingku?”
Sardi ingat bagaimana dulu Wadas menepuk pantat ibunya. Maka, dengan sambil memicingkan mata ke arah lelaki bersarung di teras, tangan kanannya menepuk pantat kambing.
Pak Haji Wadas maju dua langkah dengan mengacungkan kepalan tangan kanan, dan meneriaki Sardi:
“Kau mau iseng?! Kau mau menakut-nakuti kambingku?!”
Mendengar itu Sardi makin bersemangat. Ia kembali menepuk pantat si kambing yang tengah mengunyah rumput. Tepukan kedua lebih keras. Si kambing terlonjak.
Pak Haji Wadas tambah gusar. Wajahnya memerah. Kakinya setengah melompat, menuruni undak-undakan teras, membungkuk sebentar untuk menyambar arit yang tergeletak di depan teras, sambil menggeletarkan suara:
“Kau mengabaikan kata-kataku! Kau telah menghinaku!”
Sardi tak ciut nyali. Bersamaan dengan senyum mengolok ia menepuk pantat si kambing untuk kali ketiga.
Pak Haji Wadas meradang. Arit di tangan kanannya diacungkan ke langit. Kakinya berderap, menuju Sardi yang masih menunjukkan senyum olokan. Pak Haji Wadas terus berlari menuju pintu pagar demi menghadapi Sardi sambil berteriak:
“Maling! Sardi maling! Maling!”
Sardi menunggu. Tak beringsut dari tempatnya berdiri.
Dan, malang untuk Pak Haji Wadas. Kakinya keserimpet ujung sarung. Tubuhnya tumbang, berdebam ke tanah, empat langkah di depan Sardi.
Isteri muda Pak Haji Wadas berlari ke pintu pagar, menjerit-jerit saat melihat tubuh suaminya tertelungkup di tanah.
Sardi masih tenang. Matanya amat dingin. Ia menghampiri tubuh Pak Haji Wadas yang sedikit pun tak bergerak. Sardi membalikkan tubuh itu. Ia tak kaget saat melihat ujung arit telah merobek jantung Pak Haji Wadas.
Bersamaan dengan pingsannya si isteri muda, tetangga berdatangan.
“Aku yang membunuhnya.”
Sardi diganjar penjara limabelas tahun. Saat ini umurnya tigapuluh tahun. Masa hukumannya baru berjalan lima tahun. Lima tahun yang sangat ia nikmati.
Ia adalah napi termuda yang pernah jadi imam sholat Jumat di masjid komplek penjara. Konon, seorang teroris yang hendak dieksekusi meminta doa agar jiwanya langsung masuk surga. Sardi tak menjawab.
Ya. Begitulah Sardi alias Ferdi alias Pantat; yang telah menemukan arah kemana semestinya hati manusia tertuju.
Kami Bukan Rakyat
Kami bukan rakyat
karena rakyat sudah mampus
sejak lama
Kami cuma jelata
yang terhisap dan tertipu
topeng seribu wajah
mulut bisa, nafasnya fitnah
Kami digiring. Berkeliling
Kami tajamkan cakar dan taring
demi kursi dan panji-panji terhormat
Lalu kami dibiarkan melarat
berebut nasi dan garam tinggal sekerat
Kami bukan rakyat
karena rakyat sudah mampus
sejak lama
Kami cuma ondel-ondel pengisi pawai
diarak jadi tontonan pemikat
tertawa kemudian menangis
kelelahan dan terabaikan
Kami bukan rakyat
karena rakyat sudah mampus
sejak lama
Kami cuma botol-botol bowling
yang dipasang
untuk dirobohkan kembali
Kami bukan rakyat
karena rakyat sudah mampus
sejak lama
Kami cuma sebuah kata hampa
yang dikutip tanpa punya daulat
Kami bukan rakyat
sejak pejabat jadi penjahat!
2003
– Ciu Cahyono
**Biodata**
Ciu Cahyono lahir di Solo 15 Mei 1977, dengan nama asli Adi Cahyono. Lulusan Program Linguistik, Jur. Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.
Menulis sajak-balada, cerpen, novelet, novel, script film pendek, naskah drama, dan artikel sastra. Karya-karya pernah dimuat di Femina, Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi), Kompas, Kartika, Rakyat Merdeka, Solopos, Tabloid Tren, Duta Pustaka, Pena, Blora Pos, dan dalam beberapa buku antologi bersama penulis lain.
Beberapa buku yang telah terbit: Kiss Me Again! (Pustaka Anggrek-2005), Star! Star! (Grasindo-2006), Misteri di Balik Layar (Suara Media Sejahtera-2007), Dansa Sepanjang Gusen (Suara Media Sejahtera-2007), Kisah Kafa dan Barus (Pustaka Insan Madani-2008), serta dua buah buku terbitan Roadman Foundation untuk kalangan terbatas dalam program Sedekah Sastra; Saenah, Iblis, dan Kubah Magis (2005), dan Pantat (2010).
Sempat aktif di dunia teater dan bersama kawan-kawan mendirikan Teater Jaring, menulis naskah sekaligus menyutradarai beberapa drama di seputar Jogja-Solo-Semarang. Di tahun 1998 memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jawa Tengah dengan naskah berjudul Kerontang Bulan. Pementasan paling akhir adalah dua monolog panjang yang membuatnya dicatat dalam MURI untuk pementasan monolog terlama di tahun 1999. Yakni Cantrik (Monolog 10 jam di TBRS Semarang), dan dilanjutkan Rumah Badai (10 jam 45 menit di TBS Solo). Bagian terakhir dari trilogi monolog tersebut: Dewi-Dewi Membasuh Kakiku, hingga kini belum bisa dipentaskannya.
Kunjungi Facebook sajak-balada beliau: Sajak Balada Ciu Cahyono.